Khotbah Minggu 14 September 2025   Lukas 15:11-32   Repentance is the inseparable companion of faith (Charles Spurgeon)

Lukas 15:11-32

15:11 Yesus berkata lagi: “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki.

 15:12 Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. 

15:13 Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. 

15:14 Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. 

15:15 Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. 

15:16 Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. 

15:17 Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. 15:18 Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, 

15:19 aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. 

15:20 Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. 

15:21 Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. 

15:22 Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. 

15:23 Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. 

15:24 Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. 

15:25 Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. 

15:26 Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. 

15:27 Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. 

15:28 Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. 

15:29 Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. 

15:30 Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. 

15:31 Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. 

15:32 Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

1. Tidak diragukan lagi Perumpamaan ini merupakan salah satu perumpamaan Yesus yang paling terkenal dan sangat berkesan. Perumpamaan ini adalah salah satu kisah paling terkenal dalam Kitab Suci. Banyak orang menganggapnya sebagai cerita pendek terhebat yang pernah ditulis. Perumpamaan ini lebih tepat disebut Injil di dalam Injil.  Kisah ini berbicara dengan sempurna tentang kondisi kita manusia. Ini adalah kisah universal yang mewakili setiap orang Kristen.

Kita tidak bisa sepenuhnya berempati dengan anak yang hilang itu. Namun, sikap sok benar, sok suci sang kakak beresonansi dengan pergumulan rohani kita juga. Dosa anak sulung mungkin lebih serius daripada gaya hidup amoral yang terang-terangan dilakukan anak bungsu. Dosa anak sulung tersembunyi tetapi mudah dikenali ketika muncul ke permukaan. Namun, sang ayah mengasihi kedua putranya tanpa syarat. Kepada anak yang hilang, ia berlari menyambutnya. Dan kepada anak sulungnya, ia keluar dan membujuknya (ayat 28). Anak yang manakah kita? Sebagaimana sang ayah menyambut putranya, demikian pula Allah dalam Kristus menyambut kita. Kita hampir tidak tahu mana yang paling kita kagumi, kasih seorang ayah ketika ia merangkul dan mencium anak yang hilang, atau kasih seorang ayah ketika ia pergi keluar untuk berbicara dengan putra sulungnya?

2. Tokoh utama dalam perumpamaan ini adalah  sang ayah yang pemaaf, yang karakternya tetap konstan di sepanjang cerita, dan ini merupakan gambaran Allah. Yesus menggambarkan kasih Allah yang melampaui kasih manusia sebagaimana dipahami dan dipraktikkan secara umum, karena tidak ada ayah pada umumnya yang akan bertindak seperti yang dilakukan ayah ini dalam perumpamaan tersebut. Sebenarnya kita harus mengasihani sang ayah yang malang, ia seharusnya melarikan diri dan meninggalkan tempat itu agar mereka berdua bisa bertengkar. Namun, sang ayah tidak melakukannya, ia tidak  melarikan diri karena apa yang dikatakan dan dilakukan kedua anaknya. Kita tahu karakter, sifat sang Bapak. Anak yang hilang memberi tahu kita karakter ayahnya ketika ia berkata di titik terendahnya. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku.” Ia tidak mengharapkan anak lembu tambun, tetapi ia cukup tahu bahwa ayahnya, berdasarkan sifatnya, berdasarkan karakternya. Jadi pertobatan adalah tanggapan atas kasih karunia Allah, bukan prasyarat untuk itu. Kasih karunia selalu didahulukan. Pertobatan tidak pernah muncul dalam hati manusia tanpa kasih karunia Tuhan. Benar anak yang hilang mengakui dosa-dosanya, tetapi bukan pengakuan dosa yang memicu kasih karunia, melainkan kasih bapa yang memicu pengakuan dosa. Apakah pertobatan merupakan prasyarat untuk kasih karunia? Tidak. Anugerah datang lebih dulu. Tak seorang pun terlalu jauh, terlalu rendah, terlalu hina, terlalu buruk untuk disingkirkan dari kasih Allah. Dan tak seorang pun terlalu baik, terlalu berbakti, terlalu suci, benar untuk mendapatkan kasih karunia Allah itu.

3. Salah satu hal yang mengejutkan kita dalam cerita ini adalah “kebodohan’ sang ayah. Dia menanggapi permintaan putranya yang sangat ofensif, meminta warisan sebelum orang tuannya meninggal.  Hal semacam ini tidak pernah terjadi sampai sekarang. Impian ayah kepada kedua putranya adalah menjaga tanah,  keluarga tetap utuh dan mereka bekerja bersama. Bertentangan dengan semua harapan, ayah yang penuh kasih itu setuju untuk membagi harta warisan. Tanah milik sang ayah melambangkan pekerjaan hidupnya dan dalam arti tertentu kehidupannya sendiri. Identitas sang ayah terjalin erat dengan tanahnya, sehingga ia tidak akan mudah melepaskannya. Putra sulung seharusnya menolak pembagian warisan tersebut, dia seharusnya protes  tetapi ia gagal melakukannya. Ini adalah gambaran sekilas tentang keegoisan putra sulung dan pada akhirnya akan terungkap diakhir cerita. 

 Dengan meminta warisannya, dia memisahkan dirinya dari saudaranya. Dia melanggar aturan etiket sosial dan membuat seluruh keluarga, terutama ayah, untuk diejek. MALU dan KEHORMATAN begitu penting bagi masyarakat. Biasanya seorang anak yang mempermalukan dirinya sendiri dengan mengajukan permintaan seperti itu akan dipermalukan di depan umum oleh ayahnya, mungkin dicabut hak warisnya, atau bahkan mungkin dikeluarkan dari keluarga dan dianggap telah meninggal. Tetapi sang ayah melakukan apa yang diminta putranya; dia membagi hartanya. Menurut hukum Yahudi, putra yang lebih tua mendapat dua pertiga, putra bungsu itu mendapat sepertiga.

Anak bungsu ini bersalah karena mengambil alih inisiatif yang seharusnya menjadi hak ayahnya. Dia Memperlakukan ayahnya seolah-olah sudah meninggal. Dia mengabaikan kewajibannya kepada orang tuanya di masa tua mereka dan memutus hubungan keluarga dengan meninggalkannya.

4.  Dia ingin pergi, melihat pemandangan yang ditawarkan dunia. Keinginan anak yang hilang ini adalah dia ingin bebas melakukan apa pun yang  dia inginkan. Kita semua menginginkan kebebasan. Kita ingin melakukan apa yang kita inginkan, kapan pun kita mau. Kita jengkel dengan tanggung jawab dan benci pengawasan. Kita membayangkan kita bisa sukses seandainya  kita punya banyak uang. Ketika ia pergi, ia tidak pernah berniat untuk pulang. Jika ia berencana untuk pulang, ia tidak akan membawa semua uangnya.  Ia sengaja melakukan apa yang ia ingin lakukan. Kekayaan yang cepat tidak dapat meninggikan derajat kehidupan yang pada dasarnya lembek. Kita selalu menuju masalah ketika kita lebih mementingkan barang/harta daripada manusia. Dosa selalu mengarah pada lebih banyak dosa. Begitu kita mulai membuat keputusan buruk, dan lebih mudah untuk melakukan dosa seiring waktu. Rasanya dia begitu jauh dari tempat dia dulu berada sehingga lebih mudah untuk terus berjalan ke arah yang salah daripada berpikir untuk berbalik arah. Jika kita mengabaikan moral Alkitab dan mengabaikan hubungan kita dengan Tuhan, kita bisa menghadapi masalah. Jagalah akal sehatmu. Hiduplah bagi Tuhan dengan tuntunan Firman-Nya.

5.  Frasa “negeri yang jauh” tidak hanya berkaitan dengan geografi. Tempat yang dituju pemuda ini memang jauh dalam hitungan kilometer, tetapi juga jauh dalam hal nilai-nilai. Pemuda ini menjauhkan diri dari ayahnya dan segala sesuatu yang diperjuangkan ayahnya. Di negeri yang begitu jauh, si anak bungsu akan lebih kecil kemungkinannya untuk menemukan siapa pun yang akan meminta pertanggungjawaban atas kehidupannya yang bebas, karena gaya hidup yang bejat dan tidak bermoral adalah “norma” bagi sebagian besar bangsa non-Yahudi pada masa itu. Banyak pemuda kaya pada zaman Yesus pergi ke Roma atau Antiokhia untuk menikmati kehidupan kota yang meriah. (Wycliffe). ANak bungsu membuat serangkaian keputusan buruk yang panjang. Dosa selalu bekerja seperti itu. Satu keputusan buruk mengarah ke keputusan buruk lainnya. 

Tahukah kita di mana negeri yang jauh itu? Negeri yang jauh tidaklah sulit ditemukan. Bahkan, kita dapat memasukinya langsung di tempat kitaberada sekarang. Kita tidak harus pergi ke kota yang terkenal jahat. Kita bahkan bisa menjadi anggota gereja yang baik, mengajar Sekolah Minggu, penatua, diaken, pendeta  tinggal di “negeri yang jauh.” Negeri yang jauh adalah sikap hati kita , pikiran kita, kehendak, dan keinginan kita. Jarak ke negeri yang jauh diukur dengan jarak antara seseorang dengan Tuhan Yesus Kristus. Negeri yang jauh itu adalah tempat di mana pun kita berada di luar kehendak Tuhan. Itu satu langkah di luar kehendak Tuhan.

6.  Perumpamaan ini menyingkapkan betapa cepatnya kita bisa jatuh, gagal, terhuyung-huyung, dan terombang-ambing ketika kita lari dari Bapa Surgawi kita. Ketika anak bungsu mengalami kesulitan, ia menjadi pelayan seorang petani di negeri yang jauh. Petani tersebut adalah seorang non-Yahudi, karena ia memiliki peternakan babi. Memberi makan babi saja sudah cukup buruk bagi seorang Yahudi. Dia hidup dengan hampa, kantong kosong, perut kosong, jiwa kosong. Anak bungsu ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. Ada pepatah lama yang mengatakan “pengemis tidak bisa pilih-pilih” dan ia pun melakukannya. Dosa akan memaksa kita mengubah selera, sehingga apa yang dulunya benar-benar menjijikkan kini disambut dengan senang hati. Dosa menjanjikan kesenangan, tetapi berakhir dengan kesedihan. Dia orang asing, seorang Yahudi reputasinya ternoda. Dibutuhkan bertahun-tahun untuk membangun reputasi dan lima menit untuk merusaknya.

7.  Dosa tidak meninggikan derajat hidupnya menuju berkat, dosa melahirkan kegagalan, kejatuhan, dan menenggelamkan karakternya. Itulah yang terjadi ketika kita melarikan diri dari Allah Bapa. Anak ini mencapai titik terendah keputusasaan, membawanya pada kesepian, kehinaan. Setelah kekayaannya habis, begitu pula teman-teman yang hanya datang di saat senang. Pemberontakan dan kemerosotan anak yang hilang menggambarkan betapa mengerikannya dampak dosa dalam kehidupan manusia. Dosa selalu mengasingkan orang berdosa dari persekutuan dengan Bapa yang penuh kasih dan belas kasihan. Kita berdosa karena kita dengan bodohnya berpikir bahwa dosa akan mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan abadi, dan untuk sementara waktu, tampaknya dosa itu berhasil tetapi akhirnya menjerumuskan. Dosa menjanjikan kesenangan, tetapi berakhir dengan kesedihan. Dosa tidak menguntungkan kita melainkan membunuh kita.

8.  Perumpaam ini menggambarkan jenis pertobatan yang dapat menuntun kepada keselamatan.  Lukas memberi tahu kita bahwa pemuda itu mengubah keadaan setelah ia sadar, menyadari bahwa situasinya gawat dan dia mengingat kebaikan, belas kasih, kemurahan hati ayahnya, lalu mempercayainya  (Lukas 15:17). Anak bungsu memiliki teologi yang baik.  Sang anak “sadar” dan memutuskan untuk pulang. Ia menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang dapat ia andalkan kecuali Bapa yang telah ia permalukan, dan dengan iman, tanpa apa pun untuk ditawarkan, ia berpaling kepada-Nya untuk pengampunan atas dasar kasih karunia Bapaknya. Kita dibenarkan, bukan dengan memberikan apa pun kepada Tuhan, apa yang kita lakukan. Perut yang kosong membuatnya kembali kepada ayahnya. Itu bukanlah motif yang sangat mulia. Tidak ada yang menunjukkan bahwa ia kembali kepada ayahnya karena ia menyadari betapa buruknya perbuatannya. Mengapa seorang ayah mau menerima kembali anaknya yang hanya ingin pulang karena lapar?  Itulah arti menjadi seorang bapak. Jika kau lapar, Aku tahu di mana kau bisa makan. Jika kita haus dan lelah dengan air got dosa, Bapak tahu di mana kita bisa mendapatkan air hidup yang segar. Apakah kau lapar? Pulanglah. Apakah kau haus? Pulanglah. Apakah kau lelah? Pulanglah. Apakah kau lelah dengan hidup yang kau jalani? Kita harus sampai pada titik di mana kita menyadari bahwa kita akan binasa karena dosa kita dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh dosa itu. Pengakuannya mengubah seluruh hidupnya! Perhatikan bahwa ia mengatakannya saat ia masih hidup bersama babi-babi. Ia mengatakannya saat ia masih jauh dari rumah. Ia mengatakannya saat ia masih benar-benar bangkrut dan sangat lapar. Ia mengakui bahwa apa yang telah ia lakukan adalah dosa, khususnya dosa terhadap Allah. Leon Morris merasa bahwa anak itu “mengakui bahwa ia telah kehilangan semua hak untuk diperlakukan sebagai anak dan ia hanya mencari kemungkinan untuk dijadikan seperti salah satu pembantu yang dibayar. Allah sering membiarkan hal itu terjadi karena banyak dari kita tidak akan melihat ke atas sampai kita mulai makan seperti anak bungsu ini. Ketika kita akhirnya mencapai titik terendah, barulah kita mulai berpikir untuk pulang.

9. Pertobatan sejati tidak membuat kesepakatan dengan Allah. Satu-satunya hal yang penting adalah anak bungsu harus pulang. Itulah inti dari kasih karunia Allah. Kita bisa pulang/welcome back. Kita bisa memulai kembali. Kita bisa diampuni. Catatan gelap dapat dihapus bersih. Kita tidak harus menjalani sisa hidup kita dalam persembunyian. Kita tidak harus hidup dalam ketakutan bahwa seseorang akan menemukan kita karena kita korupsi, mencuri, membunuh dan lain sebagainya. Langkah pertama adalah yang tersulit. Itu juga langkah yang membawa kita kembali.  Si Anak bungsu itu melihat sesuatu yang sulit dilihat. Ia melihat dirinya sendiri; ia mengatakan sesuatu yang sulit dikatakan, “Aku telah berdosa kepada Bapa. Ia melakukan sesuatu yang sulit dilakukan,  dia pulang. Kisah ini menunjukkan bahwa betapa pun rendahnya kita telah jatuh ke dalam dosa, ada harapan jika kita mau berbalik dari dosa kepada Allah. Harapannya tidak tinggi. Ia akan puas hanya seorang upahan bapaknya. Betapapun takutnya, ia terus melangkah maju. Harapannya lebih kuat daripada ketakutannya.

Seseorang tidak diterima dengan baik dalam budaya yang menganut prinsip malu-hormat. Jika seseorang pulang ke rumah dengan kegagalan, ia mempermalukan keluarganya. Sang ayah berlari untuk menemui putranya. Mengapa? Salah satu alasan yang jelas adalah cintanya kepada putranya dan keinginannya untuk menunjukkan cinta kasihnya itu. Dia begitu mengasihi kita hingga rela berlari menemui kita. Sang anak mengatakan bahwa ia telah berdosa; ia tidak layak menjadi anak bapanya; dan  ia mau diperlakukan seperti hamba (15:19). Namun sang ayah tidak menerima hal itu. Ia memeluk putranya, dan ketika sang anak mulai berbicara, sang ayah tiba-tiba memotongnya agar ia dapat memberikan perintahn kepada para hambanya; Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya.  (15:22-24).

10. Sementara pesta berlangsung di rumah, sang ayah meninggalkannya dan pergi mencari putranya yang lain, yang lebih tua. Ia memohon agar putranya ikut merayakan, tetapi tidak berhasil. Sekali lagi, fokus perumpaan tertuju pada sang ayah. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga. Dialog menunjukkan betapa terasingnya sang anak sulung dari ayah dan saudara laki-lakinya. Ia juga dalam arti tertentu, telah pergi ke “negeri yang jauh,” secara psikologis. Fakta bahwa tidak seorang pun memberi tahu dia tentang perayaan tersebut merupakan indikasi kuat bahwa ia dikenal sebagai orang yang eksplosif. 

11. Dosa pembenaran diri dan kesombongan bisa sama fatalnya dengan dosa kedagingan. Seringkali lebih mudah mengasihi anak bungsu yang bejat daripada anak sulung yang sombong dan suka menghakimi.  Ada orang-orang zaman sekarang yang seperti sang kakak ini. Mereka percaya bahwa mereka murni padahal sebenarnya tidak. Mereka percaya bahwa kebenaran mereka memberi mereka hak untuk mendapatkan rumah di Surga. Seperti sang kakak, orang-orang yang merasa benar sendiri memandang rendah orang berdosa. – ia merasa benar sendiri. Ia secara terbuka mengumumkan dosa-dosa saudaranya, tetapi ia tidak dapat melihat dosa-dosanya sendiri (Lukas 18:9-14). Orang Farisi mendefinisikan dosa terutama dalam hal tindakan lahiriah, bukan sikap batiniah. Yesus mengangkat anak sulung sebagai cermin bagi orang Farisi, yang membanggakan diri dalam ketaatan mereka terhadap hukum Taurat. Anak sulung berasumsi bahwa saudaranya menghabiskan uangnya untuk pelacur, tetapi ia tidak tahu bagaimana saudaranya menghabiskan uangnya. Ia hanya ingin membuat adiknya terlihat buruk. Menurut versi anak sulung; si anak bungsu memboroskan harta kekayaan bersama-sama dengan pelacur-pelacur.Mungkin itu benar, tetapi selalu disayangkan untuk memberikan interpretasi yang paling kasar terhadap berbagai hal. Jangan pernah membuat komentar negatif atau menyebarkan desas-desus tentang siapa pun. Ketika kita marah, kita biasanya menggunakan kata-kata yang paling buruk; kita mungkin berpikir bahwa kita berbicara dengan protes, tetapi sebenarnya kita berbicara dengan jahat. Kita demo, tetapi melakukan pencarahan.

12.  Yesus membahas perumpamaan ini dengan para pengkritik-Nya. Para pengkritik-Nya digambarkan oleh perilaku sang kakak, yang tidak dapat ikut bersukacita atas ditemukannya kembali yang hilang. “Tetapi ia marah dan tidak mau masuk” (ayat 28a). Ironinya anak bungsu yang tadinya berada di luar kini berada di dalam, sementara anak sulung yang tadinya berada di dalam kini berada di luar. Kebencian mengarah pada keterasingan, pergi ke negeri jauh yang kita ciptakan sendiri. Bertahun-tahun lamanya aku telah melayani ayah” (ayat 29b). Sebagaimana anak bungsu meremehkan statusnya sebagai anak dengan ingin menjadi pekerja upahan, demikian pula anak sulung telah meremehkan statusnya sebagai anak dengan bersikap seperti seorang budak. Anak sulung menolak masuk ke rumah untuk bergabung dalam pesta (ayat 28), sebuah penghinaan publik yang mengejutkan bagi sang ayah. Ia seharusnya menjadi tuan rumah dalam sebuah perayaan. Namun, sang ayah tidak menegurnya, melainkan memohon agar ia berubah pikiran (ayat 28). Sang ayah, yang telah memberikan kasih karunia kepada putra bungsunya, juga memberikan kasih karunia kepada putra sulungnya. Sang ayah meyakinkan putra sulungnya bahwa kehadiran putra bungsunya tidak mempengaruhi kasih sayang sang ayah kepadanya maupun warisan sang putra sulung. Warisan mereka tidak berkurang karena kasih Allah kepada orang berdosa.  Keduanya aman Anak bungsu aman, si anak sulung juga. Kasih seorang ayah cukup untuk mencakup kedua putranya yang tidak taat, yang menghina bapaknya. Amin.

Leave a comment