Khotbah Minggu 23 February 2025 Matius 5:38-48   Be Willing to Suffer rather than Retaliate

5:38 Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.

 5:39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. 

5:40 Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. 

5:41 Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. 

5:42 Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. 

5:43 Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. 

5:44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. 

5:45 Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. 

5:46 Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? 

5:47 Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? 

5:48 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Be Willing to Suffer rather than Retaliate

1.  Luther pernah berkata, “Firman itu terlalu tinggi dan terlalu keras untuk digenapi oleh siapa pun”—dan memang demikianlah adanya, melampaui standar apa pun yang dapat kita harapkan untuk dipenuhi. Sebagai orang Kristen kita harus melakukan lebih dari yang seharusnya untuk orang lain, bahkan kepada orang yang menyakiti kita. “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,” “Kasihilah musuh-musuhmu.” Kita menganggapnya di luar jangkauan, tugas yang hampir mustahil, kita diperlakukan seperti keset. Kita  melihat dalam setiap contoh bahwa Yesus selalu meminta kita untuk memberi lebih banyak dari diri kita sendiri. Biarkan mereka memiliki lebih banyak dari kita.  “Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”. “Kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu”. Siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.” Yesus berkata, “Jangan mengeluh atau menjelek-jelekkan mereka. Lakukan pekerjaan dua kali lebih banyak. Kita menganggapnya di luar jangkauan, tugas yang hampir mustahil, kita diperlakukan seperti keset. Kasihilah musuh-musuhmu. Tampaknya dari sudut pandang kita merupakan kebodohan belaka, sedikit gila bagi kita,  apakah Yesus bercanda? 

2.  Khotbah di Bukit sebelum transisi ke Prapaskah ini mengajarkan realitas baru yang dibawa Yesus, realitas tanpa kekerasan/nonviolent. Hal itu jelas terlihat, tidak hanya dari Khotbah di Bukit, tetapi juga seluruh hidup dan ajaran-Nya dan, terutama, cara Yesus menghadapi kematian-Nya.Nonkekerasan ini sebagai akibat langsung dari sifat Tuhan. Ini bukan hanya sarana menuju Kerajaan Allah; itu adalah kualitas Kerajaan itu sendiri. Yesus ingin memutus spiral kekerasan. Di sini, Yesus tidak melarang pembelaan diri, hanya melarang penggunaan kekerasan. Yesus juga tidak melegitimasi pengabaian nonkekerasan untuk membela sesama. Yesus justru menunjukkan kepada kita suatu cara yang dapat digunakan oleh individu atau gerakan besar untuk campur tangan memperjuangkan keadilan bagi sesama kita–tanpa kekerasan.

Yesus tidak menganjurkan ketundukan terhadap kejahatan; hal itu akan bertentangan dengan semua yang Ia lakukan dan katakan. Sebaliknya, Yesus memperingatkan agar tidak menanggapi kejahatan dengan cara yang sama dengan membiarkan penindas menentukan syarat-syarat perlawanan kita. Barangkali yang paling penting, Yesus memperingatkan kita agar tidak berubah menjadi orang jahat yang kita lawan dengan mengadopsi metode dan ambisi mereka. Kemarahan sering kali membuat kita lebih menyakiti diri sendiri daripada musuh mana pun (SHARON SALZBERG).

3.  Pada dasarnya  Yesus berkata, jangan meniru kejahatan; jangan menjadi orang yang membenci. Jangan bereaksi keras terhadap orang yang jahat. Beginilah cara kejahatan dapat dilawan tanpa ditiru, penindas dapat dilawan tanpa ditiru, dan musuh dapat dinetralisir tanpa dihancurkan. Tentu saja, orang Kristen harus melawan kejahatan. Tidak ada manusia yang baik yang dapat berdiri diam dan melihat orang-orang yang tidak bersalah menderita tanpa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mereka. Masalahnya hanyalah bagaimna caranya. Demikian pula, orang Kristen tidak dilarang Yesus untuk membela diri. Namun, mereka harus melakukannya tanpa kekerasan. Yesus tidak mengajarkan kepasifan yang pasrah dalam menghadapi kejahatan. Yesus mengatakan, jangan melawan pelaku kejahatan dengan kekerasan.’ Jadi, ajarannya terutama tentang antikekerasan. Ini bukan tentang menyerah pada kejahatan. Kata kerja Yunani untuk kalimat “membalas dendam” hampir selalu mengandung konotasi “menolak dengan kekerasan” atau “menggunakan perlawanan bersenjata seperti dalam militer. Jadi, Yesus tidak memberi tahu murid-murid-Nya untuk sekadar tunduk atau mengabaikan seorang pelaku kejahatan; sebaliknya, Ia menasihati mereka untuk menanggapi—tetapi tidak dengan kekerasan.

Kekerasan tidak dapat menyembuhkan kekerasan. Bagaimana Setan dapat mengusir Setan? Jika Yesus berbicara tentang menjauhi kekerasan dan tidak melawan kejahatan, tentang ditampar, tentang pakaian seseorang diambil, dan tentang dipaksa melayani orang Romawi, akhir dari kehidupannya sendiri membuat kata-katanya konkret: ia menjauhi kekerasan (26.51-4), ia tidak melawan kejahatan (26.36-56; 21.12-14); ia dipukul (26.67); pakaiannya diambil (27.28, 35); dan salibnya dipikul oleh seseorang yang diminta oleh perintah Romawi (27.52). Inilah Yesus yang harus kita ikuti. Ke penyaliban.

4.  Banyak salah tafsir terhadap ajaran Yesus dalam Matius 5:38-42. Kebingungan seputar perkataan ini muncul dari kegagalan kita untuk menanyakan siapa audiens khotbah di Bukit ini. Menjadi penting untuk bertanya siapa audiens Yesus. Disalahartikan karena kita telah melupakan masyarakat asli tempat Yesus memberikan ajaran-ajaran ini. Pendengar Yesus bukanlah mereka yang memukul, tetapi korban, yang menjadi sasaran penghinaan, kekerasan. Jika seseorang menampar pipi kanan, menamparmu…ingin menuntutmu…memaksamu berjalan satu mil. Kita tahu persis siapa “seseorang” itu. Perbuatan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang yang memiliki hak istimewa, yang berkuasa, majikan. Orang-orang istimewa yang menyiksa orang miskin.  Ini tentang pangkat, pride,  hak istimewa, dan kekuasaan. Dilakukan untuk menunjukkan kehormatan seseorang. Pendengar ajaran ini adalah orang-orang yang menderita perlakuan tidak manusiawi yang dijatuhkan kepada mereka oleh sistem hierarki dan kelas, ras dan jenis kelamin,  dan status, dan sebagai akibat dari pendudukan kekaisaran.

Mengapa Yesus menasihati pendengarnya seperti ini? “Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.”Kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.” Siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.”

5. “Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.”

Dalam setiap kasus, membalas dengan tindakan yang sama oleh pihak yang dirugikan bukanlah pilihan yang realistis; Kepatuhan adalah respons yang diharapkan. Tidak satu pun dari hal ini yang Yesus anjurkan. Sebaliknya, ia memberikan contoh cara alternatif bagi orang yang terluka untuk merespons yang secara aktif menghadapi ketidakadilan dengan tindakan positif ini bertujuan memutus siklus kekerasan dan memulai siklus yang berbeda. Memutus siklus kekerasan dan memulai siklus kemurahan hati. Mengapa mereka yang korban melakukan lebih dari yang seharusnya untuk orang lain? Mengapa Yesus menasihati orang-orang yang telah dipermalukan ini memberi pipi yang lain? Orang yang membalikkan pipi yang lain berkata: “Coba lagi.” Tindakan penindas akan memperlakukan dirinya sendiri. Pada saat itu segala sesuatu harus dilakukan sesuai dengan protokol yang diterima secara sosial. Budak harus patuh berdiri menghadap  tanpa paksaan dari luar. Majikan hanya menampar pipi kanan saja; dan hanya dengan telapak tangan kanan/ right cheek. Variasi apa pun dari hal ini akan menunjukkan bahwa majikan tidak memegang kendali; akan menjadi kehilangan muka di depan umum. Kehormatan sang majikan didepan publik sangatlah penting, mereka harus melakukan segala sesuatu harus dilakukan sesuai dengan protokol yang diterima secara sosial. Majikan baru saja menampar pipi kanan, dan tanpa berkata apa-apa, lemah lembut dan patuh  dan menoleh untuk memberikan pipi kiri. Bukankah si korban dua kali lebih patuh; dua kali lebih menerima otoritas tuannya. Sebenarnya si korban membuat tuannya tidak berdaya. Ini benar-benar akan mempermalukan dan mengejek tuannya di depan umum, membuatnya kehilangan muka.

6.  “Kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.” Seorang debitur yang berdiri telanjang/ kecuali pakaian dalam di pengadilan, menyerahkan pakaian yang dikenakan di badan dan luar (jubah) kepada seorang kreditur yang menuntut jubahnya (5:40). Dalam masyarakat Yahudi, ketelanjangan merupakan sumber rasa malu tidak hanya bagi orang yang telanjang, tetapi bagi siapa pun yang melihat ketelanjangan itu. Jika seorang debitur menyerahkan semua pakaiannya, kabar akan menyebar dengan cepat, dan kreditor akan dikutuk oleh pengadilan opini publik karena memaksa seseorang untuk pergi tanpa perlindungan yang memadai.Biarkan si orang kaya menjelaskan mengapa engkau bertelanjang.

7. Siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.” Seorang prajurit Romawi yang menduduki wilayah mereka dapat memaksa seorang warga sipil untuk membawa ransel prajurit yang berat sejauh satu mil, tetapi tidak bisa lebih jauh, jika ini terjadi maka  prajurit itu melanggar kode etik militer yang dilaksanakan dengan ketat. Jika warga sipil melakukan kemudian kembali lagi, ini berarti kehilangan pekerjaan  warga sipil itu, dan dengan demikian kehilangan makanan hari itu untuk keluarga. Berjalan sejauh satu mil lagi secara terbuka menyingkapkan ketidakadilan karena dipaksa ini mendatangkan rasa malu dan ejekan bagi mereka yang memaksa.

Sekali lagi, Kehidupan Kristen bukanlah tentang menegaskan hak-hak kita. Apakah kita selalu memperhatikan keuntungan  sendiri atau memperhatikan keuntungan orang lain? Memastikan bahwa kita diurus terlebih dahulu atau mengurus orang lain? Apakah kita begitu mementingkan diri sendiri sehingga kita selalu menghitung-hitung apa yang akan kita dapatkan? Jika seperti itu, maka berhentilah. Yesus memberi tahu kita untuk tidak memaksakan hak-hak kita sendiri. Yesus memberi tahu kita untuk tidak memikirkan diri kita sendiri dan melindungi diri kita sendiri. Sebaliknya, Yesus memberi tahu kita untuk memberikan diri kita sendiri dan memikirkan orang lain sebelum diri kita sendiri. Kita tidak berkata, “Saya punya hak/ I have a right.” Kita menyerahkan hak-hak kita untuk orang lain. Kita melakukan lebih dari yang seharusnya untuk orang lain. Kita akan melihat dalam setiap contoh bahwa Yesus selalu meminta kita untuk memberi lebih banyak dari diri kita sendiri. Kita tidak mencari hal yang paling sedikit yang dapat kita lakukan. Kita mengorbankan diri kita sendiri tanpa pamrih. Kita perlu menerapkan kasih itu kepada semua orang di sekitar kita, termasuk bahkan mereka yang merupakan musuh sejati kita. St. Augustine berkata; 

“Tidak ada yang begitu jelas menyingkapkan manusia rohani selain perlakuannya terhadap saudara yang bersalah.”

8.  “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (5:43). Ini merupakan inti dari ajaran Yesus dan ia akan mengulanginya pada dua kesempatan lain dalam Matius (19:19; 22:39). Pada zaman Yesus “cinta” dan “benci” tidak dipahami dalam hal keadaan emosi, perasaan, atau sikap internal. Yesus tidak meminta kita untuk “feel the love” toward our enemies. Orang-orang (pada zaman Yesus) tidak terlalu peduli dengan hal-hal psikologis. Jadi, ” to love” our enemies does not mean to try and feel affection for them. 

Itu berarti terikat kepada mereka; mengabdi kepada mereka; setia kepada mereka; terikat dengan mereka; menyatukan nasib kita dengan nasib mereka; mengupayakan kesejahteraan mereka, perlakuan yang adil dan pantas bagi mereka. Ayat 45-48 memberikan motivasi untuk mengasihi musuh. Kita memandang semua orang melalui mata Tuhan. Dia meminta agar kita mengasihi bukan seperti manusia biasa, tetapi seperti Allah mengasihi. Dia meminta agar kita mengasihi musuh-musuh kita karena begitulah cara Allah bertindak, lihat ayat 46. Mengasihi musuh berarti mengusahakan kesejahteraan mereka. Sama seperti Bapa; menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Hiduplah dengan murah hati dan ramah terhadap orang lain, sebagaimana Tuhan hidup terhadap kita. 

9. Kita mungkin tergoda memahami seruan tersebut sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman. Sebagai sesuatu yang hanya ada di zaman Yesus dan bukan zaman kita. Mengasihi musuh tidak akan menyenangkan kebanyakan orang. Tuhan memanggil kita untuk melawan arus ketika arus itu melawan Tuhan. Be IN the world, not OF the world. – Tony Evans. Para pemimpin Agama Yahudi mengajarkan untuk mengasihi sesama dan membenci musuh. Jelas itu bukan ajaran hukum Allah. Kita hanya ingin mengasihi orang yang mengasihi kita. Namun, ini bukanlah hukum Allah atau standar Allah. Yesus mengembalikan standar itu ke tempatnya yang semestinya ketika Ia mengajarkan untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Kita dipanggil untuk menjadi berbeda. Untuk memberi nilai tambah kepada orang lain. Kehidupan Kristen tidak sedikit lebih baik, tetapi sama sekali berbeda. – Clarence Sexton. Kita tidak hanya bertahan melalui kehidupan yang penuh tantangan ini tetapi benar-benar berkembang, membuat perbedaan bagi orang-orang di sekitar kita. Hidup kita sangat berbeda dengan prosedur operasi standar dunia. Yesus mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam lingkaran setan balas dendam dan kebencian terhadap musuh. Tentu saja, orang tidak dapat dengan mudah mengasihi orang-orang yang menyakiti dan mempermalukan mereka. Tindakan yang berlawanan dengan intuisi ini membutuhkan doa. Dalam “Doa Bapa Kami” (6:9-13), gagasan ini sesuai dengan tema pengampunan: mengampuni orang lain yang telah berbuat salah kepada kita sangat penting untuk menerima pengampunan Tuhan juga (6:14-15).

10.   Ada begitu banyak kebencian di masyarakat kita. Orang berusaha melawan kita, yang tidak menyukai kita sedikitpun, terkadang orang menyakiti kita begitu parah, meracuni pikiran bos terhadap kita di tempat kerja. Yesus meminta kita untuk berusaha mengasihi mereka. Mengasihi mereka adalah tantangan yang sesungguhnya. Kita berbuat baik kepada semua orang dan mengasihi semua orang adalah karena itulah yang Allah lakukan. Lihat ayat 45,  ini adalah dunia yang penuh dengan orang-orang yang tidak memberi waktu kepada Tuhan. Namun, meskipun demikian, Tuhan mengirimkan karunia, bakat, kasih, kebajikan, bisnis yang sukses, dan hasil panen yang melimpah kepada semua orang. Jika Tuhan dapat melakukan itu, bukankah kita seharusnya seperti itu. Itulah karakter Allah. Yesus berkata “haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Inilah jenis kedewasaan yang Yesus inginkan dari para pengikutnya. Yesus memanggil para pengikut-Nya untuk menjadi sempurna (teleios,bahasa Yunani), orang-orang yang dewasa, orang-orang yang telah memenuhi tujuan yang telah ditetapkan Allah bagi mereka. Ajaran Yesus berasal dari keyakinan teologis bahwa karena Allah itu sempurna, maka para pengikut Allah pun seharusnya demikian. Merupakan kewajiban setiap orang Kristen untuk menjadi Kristus bagi sesamanya (Martin Luther). Kedewasaan dalam kehidupan Kristen diukur hanya dengan satu ujian: seberapa dekat kita dengan karakter-Nya? (Elyse Fitzpatrick.) Amin.

Leave a comment